Negara kita Indonesia dijuluki sebagai negara agraris, karena sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Keberadaan petani menjadi penting di negara ini karena turut serta berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain padi, Indonesia juga terkenal dengan hasil bumi lainnya seperti karet, sawit, jagung, cengkeh, kopi, tebu dan masih banyak hasil bumi lainnya. Tapi di masa sekarang kita melihat bahwa keadaan para petani di Indonesia justru semakin memburuk dari waktu ke waktu.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi, seperti gagal panen, harga jual hasil panen yang anjlok, tingginya biaya produksi, semakin rusaknya tanah dan semakin langkanya pupuk.
Hal ini juga yang menjadikan profesi petani sudah jarang diminati oleh para generasi muda, mereka justru lebih memilih untuk menjadi buruh di pabrik-pabrik, menjadi kuli bangunan, menjadi pegawai dan sebagainya.
Selain berbagai masalah tersebut, ada satu masalah yang juga sangat serius, yaitu tentang kesuburan tanah di Indonesia, dan yang mengambil peran cukup besar atas rusaknya lahan-lahan pertanian di Indonesia adalah pupuk kimia.
Petani zaman sekarang kebanyakan sudah terdoktrin oleh propaganda butiran-butiran magic yang secara instan dapat menyuburkan tanaman. Sepintas praktek ini terlihat benar, tapi fakta yang terjadi adalah pupuk kimia merupakan aktor utama dibalik rusaknya tanah-tanah subur di Indonesia.
Mengapa ini bisa terjadi ?, karena pupuk kimia adalah setingan global yang sudah dirancang sedemikian rapi untuk mengontrol petani di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Kita memang dipaksa untuk kecanduan dengan produk ini, karena dengan skenario ini maka otomatis akan ada segelintir orang yang mendapatkan keuntungan sangat besar dari sistem ini. Siapa mereka bagaimana cara membuktikannya akan kita bahas dalam artikel berikut.
Pupuk nitrogen adalah pupuk yang bahan bakunya berasal dari gas alam, dan sebagaimana kita ketahui, nitrogen adalah bahan utama pupuk bagi dunia pertanian saat ini yang didapat dari serentetan proses-proses kimiawi sehingga bisa menghasilkan pupuk yang biasa kita kenal dengan merek Urea, ZA, Poska, NPK Mutiara dan lainya. Pupuk kimia inilah yang mendominasi pertanian di seluruh dunia.
Dan bagaimana semua ini dimulai hingga bisa menjadi sesuatu yang begitu dipuja-puja oleh para petani?
Dan bagi Anda yang berpikir bahwa sistem pertanian yang ada sekarang sudah benar, maka pembahasan ini bukan untuk Anda. Pembahasan ini hanya untuk mereka yang peduli dengan masa depan negeri ini, yang sebagian bebannya juga dipikul oleh para petani, pahlawan pangan dari negeri ini, agar kita dapat mewujudkan dunia pertanian yang lebih baik kedepannya karena sistem yang ada sekarang adalah sebuah penjajahan gaya baru yang merebut kemerdekaan para petani di tanah yang subur ini.
Awal mula diciptakannya sistem ini dimulai pada tahun 1941 melalui sebuah penelitian yang dibiayai oleh Rockefeller Foundation di Meksiko, yang pembahasanya bisa di baca di artikel " Dampak Penggunaan Pupuk Urea Terhadap Kesuburan Tanah" yang kemudian penelitian ini dianggap berhasil, tapi bukan oleh semua orang, melainkan hanya oleh satu organisasi yaitu FAO yang berada dibawah naungan PBB.
Hasil dari penelitian tersebut terus mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk Asosiasi Rakyat Amerika Latin dan para Agronomis dari Eropa dan Amerika Serikat.
FAO (Food and Agriculture Organization) atau organisasi pangan dan pertanian dunia yang berada dibawah naungan PBB kemudian mengutus seseorang bernama Norman Borlaug untuk mensosialisasikan hasil kerja Rockefeller Foundation ini ke seluruh dunia dimulai dari tahun 1950 ke negara-negara Amerika Latin.
Dan perlu diketahui bahwa Norman Borlaug ini adalah seorang agronomis, yang juga merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang bekerja untuk keluarga Rockefeller
Lalu apa hubungan antara keluarga rockefeller dengan PBB ?, hal ini sudah bukan rahasia lagi, dan salah satu yang paling terkenal adalah sumbangan keluarga ini atas pembangunan gedung PBB di New York, dan di atas tanah keluarga inilah gedung PBB dibangun dan Rockefeller Foundation juga yang menjadi salah satu donatur terbesar bagi PBB hingga hari ini bersama dengan Bill and Melinda Gates Foundation serta Federal Reserve. Maka tak heran jika keluarga Rockefeller dapat mengintervensi setiap kebijakan yang dibuat oleh PBB termasuk dalam bidang pertanian yang berada di bawah kuasa FAO.
Di tahun 1950 ini juga lahir sebuah gerakan bernama Green Revolution atau Revolusi Hijau yang dipimpin oleh Norman Borlaug si kaki tangan keluarga Rockefeller, yang bertujuannya untuk mengganti semua sistem pertanian di seluruh negara-negara berkembang dan di negara-negara miskin yang terdapat di 3 benua, yaitu benua Amerika, benua Afrika dan benua Asia, yang mana negara Indonesia juga termasuk didalamnya. Dan sistem yang dipakai adalah metode yang didapat dari penelitian di Meksiko tadi yang didanai oleh Rockefeller.
Pada waktu itu para petani di Amerika Serikat dan Eropa sebenarnya sudah sangat modern dari sisi peralatan dan pemupukan, dan tidak ada yang salah dengan metode pertanian pada waktu itu, dan pupuk yang digunakan adalah pupuk yang berbasis organik seperti pupuk charcoal yang dikembangkan dengan teori humus sehingga bisa menghasilkan ekosistem yang baik bagi mikroorganisme di dalam tanah, yang juga otomatis akan mempengaruhi proses pembentukan nutrisi secara alami bagi tanaman.
Tapi metode pertanian seperti itu jelas tidak menguntungkan bagi keluarga tersebut, karena mereka tidak mungkin bisa mengontrol para petani, untuk itu harus dibuat sistem baru yang dibungkus dengan tema Revolusi Hijau.
Keluarga rockefeller merupakan pendana terbesar dari green revolution, dan revolusi hijau ini masuk ke Indonesia dengan nama BiMas atau Bimbingan Masyarakat pada tahun 1965.
Kenapa keluarga rockefeller begitu gencar mendanai green revolution? kita sama-sama sudah tau jawabannya, yaitu motivasi bisnis.
Karena keluarga rockefeller adalah penguasa 90% bisnis minyak dan gas di seluruh dunia lewat berbagai perusahaan dan anak perusahaan yang mereka kontrol. Karena jika anda ingin memproduksi pupuk kimia berbahan nitrogen maka anda harus membeli gas bumi dari perusahaan-perusahaan swasta atau gas industri.
Sebagaimana kita ketahui, nitrogen adalah pupuk wajib bagi semua sektor pertanian di masa sekarang, sekaligus menjadi senjata paling merusak bagi tanah, yang artinya akan terus ada peningkatan penggunaan pupuk dari waktu ke waktu agar tanah pertanian tetap dapat digunakan.
Coba kita bayangkan, saat ini lahan pertanian di Indonesia sudah menyusut sekitar 60.000 hektar karena alih fungsi lahan dan lain-lain. Tapi penggunaan pupuk kimia justru semakin meningkat setiap waktu, baik itu pupuk bersubsidi maupun non subsidi, yang artinya sadar atau tidak, dosis pupuk kimia yang diberikan ke tanah terus meningkat.
Perusahaan BUMN produsen pupuk Indonesia pun semakin dibuat tidak berdaya dan harus dipaksa terus berproduksi dengan harga beli gas industri yang terus meningkat, jadi jangan salahkan pemerintah kalau akhirnya memperketat aturan pupuk bersubsidi di Indonesia, karena pemerintah pun tidak berdaya kalau harus terus menanggung beban subsidi yang terus membengkak setiap tahunnya.
Kembali ke tahun 1950-an, PBB melalui salah satu badan organisasinya yaitu FAO mengeluarkan mandat bagi setiap anggotanya di mana waktu itu Indonesia masih menjadi anggota di dalamnya, walaupun sempat keluar dari keanggotaan pada tahun 1965, untuk membangun pabrik pupuk kimia khususnya di negara-negara yang dikategorikan miskin dan berkembang.
Pembangunan pabrik pupuk kimia tentu saja dengan aliran dana segar berupa utang luar negeri, di Indonesia sendiri pembangunannya terlaksana pada tahun 1959 dan mulai beroperasi pada tahun 1962 dengan nama Pusri atau Pupuk Sriwijaya Palembang tepat 3 tahun sebelum revolusi hijau atau Bimas masuk Indonesia
Dan hal ini tentu saja membawa angin segar bagi Chevron salah satu perusahaan milik rockefeller yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 1924. Karena kebijakan internasional yang mewajibkan setiap produksi pupuk kimia berbahan dasar gas harus diproduksi dengan gas industri yang diproduksi oleh perusahaan swasta, sebuah sistem yang berjalan sempurna.
Belakangan ini Chevron mulai mengurangi produksi gasnya dan lebih fokus kepada minyak bumi dikarenakan banyaknya pro kontra di dalam negeri, monopoli gas industri di Indonesia kemudian diambil oleh BP Tangguh anak perusahaan dari British Petrolium yang merupakan bagian dari Seven Sister Oil Company yang dikontrol oleh Rockefeller Connection.
Sebenarnya tidak susah mencari kecocokan di antara perusahaan-perusahaan gas multinasional ini, jika anda mau melakukan sedikit riset dan berpikiran kritis. Dan itu tidak perlu disebutkan satu persatu, tetapi jika diperhatikan secara seksama, bahkan seluruh kontraktor migas swasta di Indonesia semuanya berada dalam satu jaringan yang sama yaitu Rockefeller Connection.
Kembali ke green revolution yang secara masif dimulai di negara-negara benua Asia dan Afrika di tahun 1960-1980. Dan setelah puluhan tahun diterapkan ternyata malah memberikan dampak yang buruk bagi tanah, petani dipaksa terus-menerus harus menggunakan pupuk kimia jika ingin panen, sebuah candu yang sudah dirancang dengan sangat baik, belum lagi masalah-masalah lain yang lebih kompleks seperti hama penyakit dan lain-lain.
Sepintas green revolution kelihatannya memberikan dampak yang baik bagi pertanian, hal ini dibuktikan dengan setiap negara yang menerapkan sistem ini pasti pernah mengalami swasembada pangan paling tidak sekali, tapi selanjutnya kualitas dan kuantitas pertanian justru semakin memburuk.
Contoh paling parah dari penerapan revolusi hijau terjadi di negara seperti India, Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh yang tanah pertaniannya sudah berada di level kritis selama satu dekade terakhir, karena penggunaan pupuk kimia yang sudah tidak terkontrol.
Di Indonesia memang petaninya belum banyak yang teriak, karena tanah di Indonesia yang rata-rata subur dan pupuk juga masih disubsidi oleh pemerintah, tapi di negara Hindustan tanahnya sudah masuk ke level yang sangat parah, bahkan di Pakistan hampir semua aktivitas mikroorganisme di dalam tanahnya masuk ke tahap yang memprihatinkan.
Saat sudah sampai di level seperti ini baru para petani berteriak, tanahnya sudah rusak, subsidi pupuk di sana pun dicabut, yang artinya petani harus membeli pupuk yang harganya 5 kali lipat lebih mahal dari harga saat masih disubsidi, belum lagi ditambah dengan hasil panen yang tidak mampu menutupi biaya produksi.
Pada tahun 1990 seorang wanita yang merupakan aktivis lingkungan dan anti globalisasi bernama Dr.Vandana Siva dengan berani menyatakan di forum-forum Hindustan bahwa green revolution adalah jebakan iblis yang harus dihindari oleh semua orang khususnya petani.
Pernyataan Vandana Siva bukannya membuat orang-orang pada waktu itu berpikir, tapi malah mentertawakan dan menghujat Vandana Siva, karena dianggap kolot dan tidak bisa menerima modernisasi. Baru setelah 20 tahun kemudian orang-orang yang tadinya menghujat dan mentertawakan tersadar, bahwa apa yang dikatakan Vandana Siva 20 tahun lalu semuanya benar dan akhirnya terjadi, walaupun kesadaran rakyat ini mungkin sudah agak terlambat.
Setelah mereka tahu kebenaran yang sesungguhnya tentang green revolution, barulah Vandana Siva dianggap sebagai pahlawan dan menjadi pemimpin dalam pengembalian estetik pertanian ala leluhur mereka di India dan Pakistan.
Selanjutnya lebih spesifik tentang pupuk urea sebenarnya saat kemunculannya di Eropa lebih tepatnya di Jerman sudah mendapat banyak pertentangan dari agronomis, botanis, insinyur pertanian dan pemerhati lingkungan di sana, bahkan juga oleh penemu teknologi pengekstrak gas alam menjadi pupuk nitrogen yang bernama Fritz Haber.
Pada tahun 1918 dalam salah satu jurnal ilmiahnya Fritz Haber menulis, penggunaan nitrogen sebagai pupuk untuk pertanian jangka panjang sangat mematikan karena dapat merusak ekosistem di dalam tanah.
Justifikasi penggunaan pupuk nitrogen sebaiknya hanya diterapkan dalam keadaan darurat, dan keadaan darurat yang dimaksud disini adalah kondisi sebagian negara-negara di Eropa yang pada saat itu sedang menghadapi kondisi krisis pasca perang dunia pertama dan butuh percepatan pertumbuhan di sektor pangan, untuk itu pupuk nitrogen terpaksa harus digunakan.
Itulah sekelumit awal kisah penggunaan pupuk nitrogen untuk pertanian, tapi bagi seorang elit internasional seperti rockefeller hal ini bukanlah masalah, dan melalui salah satu agen yang bernama Carl Bos yang juga mendanai seluruh penelitian Fritz Haber di tahun 1930, dan hasil penemuan Fritz Haber kemudian dipatenkan ke perusahaan kimia asal Jerman bernama BASF, yang sejak saat itu sampai hari ini sahamnya masih dimiliki oleh keluarga rockefeller.
John Devi si rockefeller junior yang saat itu aktif di berbagai bisnis keluarganya di Eropa tahu betul potensi dari alat penemuan Fritz Haber ini, sehingga dengan kekuatan uang yang dia miliki berhasil membuat teknologi berharga ini berada dalam kontrol keluarganya.
Proses selanjutnya dari skenario ini sudah admin jelaskan di awal artikel ini, seperti penelitian di Meksiko, green revolution dan lain-lain yang sudah dirancang dengan sangat rapi oleh satu keluarga.
Lalu bagaimana jalan keluar dari masalah ini, jawaban yang paling tepat untuk masalah ini yaitu kembali ke organik seperti yang gencar dikampanyekan di India. Tapi bukan dengan pupuk organik abal-abal seperti yang banyak beredar di toko-toko di Indonesia, melainkan pupuk organik hasil karya tangan-tangan petani Indonesia.