Sejak era kerajaan Mataram, hari Kamis adalah sebuah hari khusus yang diposisikan sebagai waktu untuk menyambut datangnya hari Jumat, dan bagi umat Islam hari Jumat merupakan sebuah hari yang utama, tak terkecuali bagi para raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sudah menjadi tradisi dari zaman Mataram hingga berdirinya negeri Surakarta, dalam rangka menyambut hadirnya hari Jumat yang mulia pada Kamis pagi harinya Sri Susuhunan menghadiri pisowanan yang dihadiri para pejabat untuk menyampaikan berbagai macam permasalahan negara dan rakyat.
Dan di hari Kamis inilah beberapa abdi dalem ditugaskan untuk melaksanakan Caos Dahar, yaitu menyajikan makanan di berbagai sudut kawasan keraton Surakarta, serta berdoa untuk kesejahteraan dan keselamatan keraton, rangkaian upacara itu dikenal sebagai Upacara Kemisan dan tetap rutin diadakan hingga sekarang.
Di era pemerintahan Susuhunan Pakubuwono 10 yang bertahta sejak tahun 1893, hari Kamis di negeri Surakarta menjadi begitu penting bagi masyarakat, karena pada hari tersebut raja mereka berkenan keluar dari keraton untuk meninjau keadaan rakyat, dan dalam setiap perjalanannya dari keraton menuju masjid Agung atau ke berbagai daerah, Susuhunan Pakubuwono 10 selalu membagikan udik-udik atau sedekah berupa uang koin kepada masyarakat yang telah berkumpul menanti kehadirannya di alun-alun dan di sepanjang jalan.
Pada mulanya orang-orang keluar rumah di setiap hari Kamis demi berjumpa dengan raja mereka, dengan berbaris dan mengenakan pakaian rapi mereka menanti datangnya Sri Susuhunan, begitu raja melewati mereka dan menyebarkan udik-udik, mereka menunduk hormat menerima pemberian itu sebagai sebuah berkah tak ternilai. Lambat laun orang-orang yang menerima pemberian sedekah pada setiap hari Kamis itu dikenal sebagai Wong Kemisan, dan seiring berjalannya waktu, sebutan Wong Kemisan ini disingkat menjadi Wong Ngemis.
Salah satu dokumen awal yang menyebut kata wong kemisan atau wong ngemis adalah tulisan wartawan surat kabar Bromartani bernama Raden Samingun Nitiprodjo yang meliput kegiatan pembagian sedekah di hari Kamis sore oleh Susuhunan Pakubuwono 10 pada tahun 1895.
Sang raja yang keluar berjalan kaki dari keraton menuju masjid Agung untuk persiapan mengaji di malam Jumatnya dengan dikerumuni oleh masyarakat yang berderet di sepanjang jalan. Susuhunan Pakubuwono 10 melalui para pejabat yang mengiringinya memberikan sedekah berupa uang koin kepada orang-orang itu.
Dalam liputannya, Raden Samingun menulis bahwa orang-orang yang berkumpul menanti pemberian raja itu disebut sebagai wong kemisan atau wong ngemis karena mereka selalu hadir menunggu raja setiap hari Kamis.
Aktivitas pembagian udik-udik atau sedekah berupa uang koin pada hari Kamis ini juga tercatat dalam Serat Sri Karongron jilid 3. Ketika sang raja keluar dari keraton mengelilingi kota dan menyebarkan udhik-udhik berupa uang koin di sepanjang jalan, semua rakyat termasuk penduduk perkampungan yang rumahnya di sisi jalan besar yang melihatnya sangat senang dan berebut.
Kedermawanan Susuhunan Pakubuwono 10 ini membuat masyarakat begitu menantikan kegiatan kemisan, sehingga saat mereka mendengar suara kereta dikira kereta sang raja, segeralah mereka keluar dan berjongkok di pinggir jalan menanti uang yang disebar.
Sesudah Susuhunan Pakubuwono 10 wafat di tahun 1939, wong kemisan alias wong ngemis ini lambat laun tidak hanya muncul pada hari Kamis, melainkan di setiap saat ada keramaian di berbagai tempat dan didominasi oleh orang-orang dari kalangan tidak mampu.
Arti wong ngemis pada akhirnya berubah dari masyarakat yang menerima sedekah dari sang raja di setiap hari Kamis menjadi orang yang meminta-minta dari orang lain.
Makna ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata PENG٠E٠MIS. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendeskripsikan Pengemis sebagai orang yang meminta-minta sedekah.
Kata pengemis atau mengemis dalam bahasa Indonesia memiliki 2 kata dasar yang berbeda, jika kata dasar Wong Ngemis atau Ngemis dalam bahasa Jawa berasal dari kata KE٠MIS, sementara Pengemis dalam bahasa Indonesia berasal dari kata "E٠MIS" yang artinya meminta-minta.
Baik upacara Kemisan di dalam keraton maupun tradisi menyebar udik-udik masih dilakukan oleh raja-raja Surakarta sampai sekarang, udik-udik uang koin yang diberikan tentu secara materi tak seberapa bernilai bagi sebagian besar masyarakat sekarang, namun mereka tetap menganggap bahwa dibalik pemberian raja itu adalah berkah dari yang Maha Kuasa.
Dan dari istilah wong kemisan atau wong ngemis menjadi pengemis adalah sebuah memori kolektif (catatan sejarah masa lalu yang memberi makna hidup) tentang perhatian dan kedermawanan sosok pemimpin di masa lalu terhadap sebagian rakyatnya yang hidup kekurangan yang dapat menjadi cerminan di masa sekarang bahwa memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah kewajiban mutlak bagi seorang pemimpin kepada siapapun dan dimanapun.